Pelonggaran Remisi Koruptor Wujud Inkonsistensi Pemerintah

  • Fathiyah Wardah

KPK menolak rencana pemerintah mempermudah prosedur pemotongan hukuman atau remisi bagi terpidana korupsi (foto: ilustrasi).

Rencana dihilangkannya ketentuan ‘’justice collaborator’’ sebagai syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi dikritisi banyak kalangan karena dinilai akan mempermudah koruptor mendapatkan remisi atau pemotongan hukuman.

Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly akan merevisi peraturan pemerintah tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan lembaga pemasyarakatan untuk mendapatkan remisi atau pemotongan hukuman.

Dalam revisi itu, ketentuan “justice collaborator” sebagai salah satu syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme dan narkoba akan dihilangkan. Justice collaborator adalah pelaku pidana – tetapi bukan pelaku utama – yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar keterlibatan pelaku lainnya.

Direktur Eksekutif Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono kepada VOA, Kamis (11/8) mengecam keras upaya menghilangkan ketentuan “justice collaborator” sebagai syarat mendapatkan remisi, terutama jika diberikan pada pelaku tindak pidana korupsi karena akan melonggarkan atau mempermudah koruptor mendapat remisi.

Supriyadi menilai alasan pemerintah melakukan revisi itu dikarenakan jumlah narapidana pada lembaga pemasyarakat di seluruh Indonesia kini sudah melebihi kapasitas, sangat tidak tepat. Menurutnya kelebihan kapasitas di lapas tidak ada hubungannya dengan menghilangkan ketentuan yang mempermudah koruptor mendapat remisi.

Selama ini, tindak pidana korupsi, terorisme dan narkoba digolongkan sebagai kejahatan yang berat dan remisi baru dapat diberikan kepada ketiga pidana itu jika memenuhi beberapa syarat, antara lain menjadi ”justice collaborator”.

"Jadi orang kalau ingin mendapatkan remisi hukum terkait kejahatan tertentu (korupsi, narkotika dan tindak pidana terorisme) dia harus berkolaborasi kepada aparat penegak hukum, lalu dia bisa mendapatkan remisi. Nah, sekarang tidak perlu berkolaborasi, sudah menjalan dua pertiga untuk kejahatan korupsi dan pencucian uang, mengembalikan uang atau pidana pengganti, maka dia mendapatkan remisi hukum," papar Supriyadi.

Your browser doesn’t support HTML5

Pelonggaran Remisi Koruptor Wujud Inkonsistensi Pemerintah

Supriyadi menambahkan jika ingin melakukan revisi terhadap peraturan pemerintah itu, sebaiknya tidak menyentuh perbaikan pasal terkait remisi bagi terpidana korupsi. Dalam proses revisi itu, pemerintah seakan akan lupa bahwa korupsi adalah kejahatan merusak yang berdampak luas, sehingga pembatasan remisi mutlak diperlukan.

Ditambahkannya, pemerintah seharusnya lebih konsisten menerapkan kebijakan “zero tolerance” bagi narapidana korupsi.

Isi revisi yang dilakukan Menkumham yang menurunkan syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi dinilai sebagai wujud inkonsistensi pemerintah dan mengisyaratkan langkah mundur dalam pemberantasan korupsi.

"Dalam konteks kejahatan yang khusus atau luar biasa bagi negara, negara boleh melakukan pengetatan remisi dan itu disyahkan," ujar Supriyadi.

KPK juga menolak rencana pemerintah mempermudah prosedur pemotongan hukuman bagi terpidana korupsi. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Raharjo mengatakan hukuman bagi koruptor harus memberikan efek jera.

"Jangan-lah. Kita kan ingin memberikan efek jera. Sekarang kita malah sedang memberikan selain kurungan badan juga pingin kerugian negara dikembalikan, ada denda itu, kan itu kita terapkan. Kalau (untuk) koruptor, harapan kami jangan ada remisi," harap Agus Raharjo. [fw/em]