Willy Aditya, adalah mantan aktivis mahasiswa Universitas Gadjah Mada di awal tahun 2000-an. Dia mendirikan organisasi mahasiswa dan memimpin banyak aksi demonstrasi, dalam isu-isu terkait kebijakan kampus dan negara. Hari Selasa (27/3) siang, dia kembali datang ke kampusnya di Bulaksumur, Yogyakarta. Bedanya, bukan lagi sebagai aktivis mahasiswa di jalanan, dia kini adalah salah satu petinggi Partai Nasdem.
Willy adalah salah satu pendiri Partai Nasdem pada 2011, bersama mantan politisi Golkar, Surya Paloh. Dalam rentang sebelas tahun, di usia 33 tahun dia telah berubah dari aktivis jalanan ke ruang dingin kantor partai di Gondangdia, Jakarta. Menurutnya, itu terjadi karena Nasdem memberi tempat bagi anak-anak muda, bahkan mereka yang belum punya pengalaman politik sebelumnya.
“Untuk kepengurusan level DPP, DPW dan DPD kita membuat rekrutmen terbuka kepengurusan Partai Nasdem. Satu-satunya yang tidak dibuka untuk umum itu hanya ketua umum partai. Animonya besar, bahkan rekrutmen ini kita iklankan di televisi dan koran-koran. Dan kepengurusan Nasdem hari ini adalah hasil dari rekrutmen terbuka itu,” papar Willy.
Willy menyampaikan itu dalam Diskusi Publik Peluang Politisi Muda di Pemilu 2019, di Yogyakarta. Acara ini diselenggarakan oleh Kaukus Politisi Muda Regional DIY. Ini merupakan kaukus kader partai muda, yang dibentuk melalui Sekolah Politisi Muda. Sekolah ini diselenggarakan Yayasan Satunama dengan dukungan yayasan politik asal Jerman, Konrad Adenauer Stiftung.
Baca juga: Politik Uang, Hoax dan Sara Ancaman Pilkada dan Pilpres
Dalam kesempatan ini, Willy juga memaparkan data bagaimana partainya memberi tempat kepada anak-anak muda. Banyak politisi Nasdem berumur kurang dari 40 tahun mampu duduk sebagai wakil rakyat di daerah, bahkan menjadi ketua DPRD.
Mendengar uraian Willy, barangkali memang politik di Indonesia sedang mengikuti gelombang di seluruh dunia. Obama menjadi Presiden Amerika Serikat di umur 47 tahun, Justine Trudeau menjadi Perdana Menteri Kanada di usia 43 tahun. Di Perancis ada Emmanuel Macron yang menjadi presiden di umur 39 tahun.
Amalinda Savirani, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM meyakini, tren itu mungkin saja menular ke Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Dia mengatakan, iklim politik kini lebih bersahabat bagi politisi muda yang idealis, karena dari 196 juta pemilik suara, sekitar 100 juta pemilih adalah kaum muda.
“Seratus juta pemilih ini adalah mereka yang alam pikirnya, sama dengan alam pikir Anda, selaku politisi muda. Ini adalah alam pikir yang menggunakan sudut pandang jaman sekarang, dan ini adalah potensi sangat besar yang merupakan potensi bagi anggota Kaukus Politisi Muda, sangat penting dan sangat strategis,” ujar Amalinda.
Amalinda secara khusus mencontohkan munculnya Luigi Di Maio sebagai calon Perdana Menteri Italia paling muda saat ini, sebagai fenomena terakhir yang harus diperhatikan.
Baca juga: KPU Tetapkan Nomor Urut 14 Partai Politik Peserta Pemilu 2019
Tetapi, kata Amalinda, itu bukan tantangan yang mudah. Iklim demokrasi di Indonesia masih diwarnai tiga fenomena buruk yaitu patronase, klientilisme, dan jual beli suara. Tiga hal ini saling mengait dan sejak lama disadari, baik oleh pemilih maupun kalangan partai sendiri, sebagai fenomena yang sulit sekali dihapus.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harus pun satu suara dengan Amalinda. Menurutnya, senioritas di partai politik memberi ruang terbatas bagi politisi muda, meski bukan berarti tidak mungkin. Di partai politik, kata Refly, bagaimanapun suara kelompok politisi tua lebih dominan.
“Oligarki partai ini ditandai dengan munculnya fenomena tokoh-tokoh yang menurunkan posisinya, dari ketua dewan pembina menjadi ketua umum partai. Ini terjadi karena yang punya kekuatan adalah tanda tangan ketua umum partai, apalagi dalam Pilkada misalnya. Partai dikelola sebagai sebuah perusahaan,” kata Refly.
Butuh Peningkatan Kapasitas
Berbicara lebih realistis, pengamat politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman mengaku pesimistis dengan peluang politisi muda dalam sistem politik saat ini. Namun, tambahnya, pesimisme itu harus dilihat sebagai upaya untuk berjuang secara optimal dengan dasar rasionalitas.
“Itulah kenapa kita harus mau menghadapi realitas politik yang keras. Realitas politik, yang terus terang tidak terlalu memihak kepada kalangan politisi muda. Kita juga harus menghadapi realitas, dimana politisi muda tidak bisa berdaulat, tetapi masih berada dalam posisi subordinat,” ujar Airlangga.
Airlangga menguraikan peran kaum muda dalam naiknya Jokowi sebagai Gubernur Jakarta pada 2012 dan presiden di tahun 2014. Peran itu sangat terlibat, terutama dalam kampanye daring dan khususnya media sosial. Namun kenyataannya, kata Airlangga, kebijakan-kebijkan yang lahir dari pemerintahan Jokowi tidak mengikutsertakan pandangan kaum muda.
“Ini adalah bukti bahwa kita kaum muda tidak benar-benar memiliki kuasa untuk memberi pengaruh dalam sistem politik,” tambahnya.
Airlangga menekankan, politisi muda harus mewacanakan sistem politik yang tidak lagi mengedepankan asal-usul seorang politisi, tetapi lebih pada pemikirannya. Disinilah pentingnya politisi muda menguasai narasi politik, seperti yang dilakukan oleh Emmanuel Macron di Perancis. Macron mampu melempar wacana dan diterima oleh pemilih Perancis, sehingga kemudian tergerak untuk memilihnya.
Tantangannya, kata Airlangga, politisi muda harus memberi kesegaran panggung politik nasional. Mereka juga harus menawarkan gerakan baru, berdasarkan evaluasi kepemimpinan sebelumnya dan perkembangan masyarakat.
Your browser doesn’t support HTML5
Untuk mampu melakukan itu, politisi muda harus meningkatkan kapasitasnya. Karena itulah, Sekolah Politisi Muda muncul sebagai bagian dari upaya mengajak partai politik mempersiapkan politisi muda masa depan. Sekolah ini mengumpulkan kader-kader politik dari delapan partai politik dari tujuh provinsi, yang dididik mengenai berbagai aspek politik masa kini. Tujuannya adalah menciptakan system politik yang lebih bermartabat di Indonesia, melalui para politisi muda di tiap partai.
“Salah satu instrumen penting dalam merawat demokrasi, idealnya adalah partai politik. Kita tidak bisa, membincangkan demokrasi tanpa kehadiran partai politik dalam sebuah negara modern. Kami meyakini, bahwa jalan politik adalah jalan yang harus ditempuh untuk menjaga demokrasi. Agar demokrasi bermakna bagi masyarakat,” kata Kepala Sekolah Politisi Muda, Insan Kamil.
Amalinda mengingatkan, menjadi politisi bersih tidak bisa dilakukan dengan cara cepat. Mereka yang datang tiba-tiba, biasanya terjebak dalam sistem jual beli suara untuk memperoleh dukungan. Politisi muda harus mampu memberdayakan masyarakat.
“Ini memang sulit untuk dilakukan dalam konteks politik sekarang, sebab politik memang mahal dan ada kooptasi politisi senior. Katakahlah ini seperti mission impossible. Melihat petanya memang susah, tetapi bukan berarti tidak mungkin,” tambah Amalinda. [ns/ab]