Pemerintah Masih Pertimbangkan Bentuk Hukuman Kebiri untuk Kejahatan Seksual terhadap Anak

  • Fathiyah Wardah

Pemerintah Indonesia menyatakan berencana memberlakukan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. (Foto: Ilustrasi)

Jerman melakukan bedah syaraf libido, sementara Inggris, Korea dan Australia menyuntikkan zat hormon tertentu untuk menurunkan nafsu seksual para pemangsa.

Meski telah menyetujui peningkatan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak dalam bentuk hukuman kebiri, pemerintah masih mempertimbangkan bentuk hukuman kebiri seperti apa yang akan diberikan.

Sebelumnya pemerintah Indonesia menyatakan berencana memberlakukan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak lewat penyusunan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa kepada VOA mengatakan pemerintah Indonesia ingin memberikan perlindungan kepada anak-anak Indonesia agar mereka tidak menjadi korban kejahatan seksual.

Menurutnya, kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang luar biasa sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa pula. Untuk itu pemerintah berencana memberikan hukuman tambahan kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak berupa hukuman kebiri, selain hukuman penjara.

Peningkatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak lewat pengebirian, kata Khofifah, penting untuk memberikan terapi kejut bagi pelaku baru.

Banyak negara di dunia, tambahnya, yang sudah memberlakukan hukuman kebiri atas kejahatan seksual terhadap anak-anak. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat bahkan sudah memberlakukan hukuman tersebut sejak 1960, dan Inggris, Jerman, Denmark, Rusia, Korea Selatan serta Australia juga telah memberlakukan hukuman tersebut, ujar Khofifah.

Saat ini, lanjutnya, pemerintah masih mempertimbangkan bentuk hukuman kebiri tersebut, apakah akan mengikuti Jerman dengn melakukan bedah syaraf libido, atau mengikuti Inggris, Korea dan Australia dengan menyuntikkan zat hormon tertentu untuk menurunkan nafsu seksual, atau bahkan sekarang bisa dengan kapsul.

Khofifah mengatakan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak di Indonesia akan disesuaikan dengan tingkat kejahatannya, artinya pelaku bisa saja tidak dihukum kebiri secara permanen. Tetapi bagi pelaku kejahatan tingkat berat, hukuman kebiri dilakukan secara permanen, tambahnya.

"Predator itu bisa berantai, sodomi bisa berantai, korbannya bisa menimbulkan korban lagi. Nah, pemberatan hukuman menjadi penting dengan memberkan shock therapy. Jadi prinsip pertama adalah perlindungan anak-anak Indonesia. Yang kedua shock therapy,"

Metode kebiri secara medis ada dua macam. Pertama metode pembedahan atau fisik dan dengan metode hormonal atau dengan cara suntik. Metode fisik dilakukan dengan cara memotong organ yang memproduksi testosteron yaitu testis. Akibatnya, laki-laki akan kehilangan gairah dan menjadi mandul permanen.

Cara yang kedua adalah dengan menyuntikkan hormon yang menekan produksi testosteron dalam tubuh. Cara ini hanya akan menghentikan gairah seseorang dalam waktu yang tertentu atau mengebiri secara sementara.

Langkah yang ingin diambil pemerintah ini didukung sepenuhnya oleh Komisi Perlindungan Anak. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait menyakini hukuman tersebut akan menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Lembaganya, tambah Arist, telah mengajukan usulan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), yang berisi hukuman melakukan kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual lewat suntik kimia, bukan mencabut organ seksualnya. Komnas Perlindungan Anak menilai, kejahatan seksual pada anak, pemerkosaan, dan pembunuhan merupakan kejahatan luar biasa.

Selama ini, kata Arist, pelaku kejahatan seksual terhadap anak dijerat dengan hukuman yang ringan. Menurutnya, Undang-undang Perlindungan Anak menyatakan hukuman bagi pelaku kejahatan adalah tiga hingga 15 tahun penjara saja. Sementara berdasarkan KUHP pelaku pencabulan anak maksimal 9 tahun penjara.

"Kebiri dengan suntik kimia tentu dengan rekomendasi dari dokter dan sebagainya. Kastrasi bukan menghilangkan hak-hak seksual dari seseorang, kalau seperti melanggar hak asasi tetapi untuk pembatasan-pembatasan itu bisa dilakukan," ujarnya.

Namun, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai tidak setuju dengan pengebirian terhadap pelaku kejahatan tersebut karena hal itu merupakan bentuk penyiksaan yang tidak boleh dilakukan.

Yang terpenting untuk dilakukan, ujarnya, adalah meningkatkan bobot hukuman melalui revisi Undang-undang perlindungan anak yang ada dari yang semula 15 tahun penjara menjadi seumur hidup.

Dia mengatakan pemerintah jangan hanya berorientasi pada hukuman saja untuk meredam kejahatan ini, tetapi harus ada upaya-upaya lain untuk melindungi anak Indonesia.

"Hukuman kebiri bukan satu-satunya atau menjadi alternatif. Hukuman kebiri kan sama saja kita menghidupkan praktik jahiliyah di masa lampau," ujarnya.

Sebelumnya Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti menyatakan perppu tentang pengebirian ini masih terus didiskusikan.

Komnas Perlindungan Anak menyatakan dalam kurun 2010-2014, angka kekerasan seksual mencapai 58 persen dari 21.736.859 laporan kejahatan terhadap anak-anak. Pada tahun yang sama, Komnas menerima 3.737 laporan pelanggaran terhadap anak, 58 persennya merupakan kekerasan seksual.

Lembaga itu memperkirakan pada tahun ini jumlah kejahatan seksual terhadap anak akan meningkat. Beberapa bulan lalu terjadi kasus kejahatan seksual terhadap anak perempuan berumur sembilan tahun yang sangat mengejutkan masyarakat.

Gadis kecil itu tidak kembali dari sekolah dan mayatnya ditemukan di dalam kardus di daerah Kalideres, Jakarta Barat sehari setelah ia dinyatakan hilang. Polisi menemukan bekas-bekas penganiayaan seksual pada mayatnya.

Tahun 2014 lalu juga terjadi kasus kejahatan seksual mengerikan terhadap anak di Sukabumi, Jawa Barat. Setelah melakukan penyelidikan mendalam, polisi menangkap Ahmad Sobadri alias Emon, 24, yang terbukti telah melakukan tindak sodomi terhadap 73 anak laki-laki di Sukabumi.