Para penyintas dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia yang tergabung dalam Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 65), meminta kehadiran pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia karena pemerintah dinilai tidak serius menangani kasus ini.
Ketidakseriusan tersebut, menurut Ketua YPKP Bedjo Untung, terlihat dari penolakan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan untuk beraudiensi dengan YPKP 65 dan Forum 1965.
Dalam jumpa pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta, Rabu (21/9), Bedjo mengatakan bahwa pihaknya pada 8 Agustus 2016 menyurati Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal (Purnawirawan) Wiranto, meminta audiensi.
Namun pada 13 September 2016, YPKP65 menerima surat dari Kementerian tersebut yang menyatakan menolak permohonan audiensi itu.
"Penolakan terhadap audiensi diajukan YPKP 65 bersama Forum 65 dinilai sebagai ketidakseriusan pemerintah dalam penyelesaian tragedi 65. Bahkan dapat dikategorikan sebagai usaha untuk menjegal dan menelikung niat baik pemerintah Jokowi yang ingin menyelesaikan pelanggaran tragedi 65-66. Beban sejarah mestinya dituntaskan pada era pemerintahan Jokowi-JK, sebagaimana tercantuk dalam program Nawacita, pada kenyataannya tidak jelas skema dan arah penyelesaiannya," ujarnya.
Bedjo memperingatkan ketidakseriusan tersebut bakal menjadi preseden buruk. Pemerintah akan dinilai sebagai negara yang gagal melindungi warga negaranya dan akan menciptakan citra negatif pada masyarakat internasional, ujarnya.
Ia menambahkan bahwa mengingat jalan rekonsiliasi atau non-yudisial untuk menyelesaikan kasus tragedi 1965-1966 telah tertutup, maka kini mereka akan kembali menempuh langkah hukum sebagaimana direkomendasikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Untuk itu para penyintas dan keluarga korban akan mengadukan kasus Tragedi 1965-1966 ini ke Dewan HAM PBB dan meminta kehadiran Pelapor Khusus PBB ke Indonesia.
"Saya pikir sekaranglah saatnya bagi kami, bagi saya, sebagai korban untuk melapor kepada Pelapor Khusus PBB. Hal ini juga penting karena sudah tidak ada lagi saluran di Indonesia untuk menyelesaikan kasus Tragedi 1965. Semua cara sudah mentok. Sehingga kinilah saatnya dan hak saya untuk melapor ke PBB," katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam kesempatan sama, Harry Wibowo dari International People's Tribunal 65 (Pengadilan Rakyat Internasional 65) mengatakan bahwa Komnas HAM seharusnya membuka dan melanjutkan kembali penyelidikan kasus tragedi 65 ini. Menurut Harry, banyak fakta dan bukti baru belum diperoleh Komnas HAM dalam penyelidikan tragedi 65 selama ini.
"Kami mengemukakan kepada Komnas HAM bahwa ada temuan, ada testimoni dalam persidangan bahkan lebih banyak temuan atau bukti-bukti yang belum diselidiki oleh penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM pada tahun 2012," ujarnya.
"Kami menyampaikan banyak bukti-bukti baru yang konsekuensinya dari hasil penelitian IPT 1965 dan persidangannya sebetulnya spesifik kasus 65 bisa dimulai penyelidikan baru."
YPKP 65 juga meminta pemerintah segera menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM dan Ketua DPR/MPR untuk melakukan rehabilitasi umum kepada korban, yaitu menyelesaikannya secara hukum sebagaimana direkomendasikan Komnas HAM guna menjawab kebuntuan mekanisme non-yudisial.
YPKP 65 juga mendesak Komnas HAM menindaklanjuti temuan kuburan massal dan melakukan ekshumasi atau penggalian kuburan sebagai bukti terjadinya kejahatan kemanusiaan dan genosida pada 1965-1966. [ab]