Presiden Perancis Emmanuel Macron bertemu Presiden Mesir Abdel-Fattah el-Sissi di Paris baru-baru ini. Kedua pemimpin tersebut membahas terorisme, konflik di Libya dan masalah regional lain, di tengah kritik kelompok hak asasi manusia atas tindakan keras pemimpin Mesir terhadap pembangkang.
El-Sissi mengatakan orang tidak bisa menilai apa yang telah dilakukan Mesir untuk rakyatnya dan untuk stabilitas di kawasan, sebagai kediktatoran. Sedangkan Macron dalam jumpa pers bersama itu menyatakan “Tidak ada agama yang berhak mendeklarasikan perang karena telah dihina.”
Setelah pertemuan, kedua pemimpin mengadakan jumpa pers bersama di Istana Elysee.
Presiden Mesir Abdel-Fattah el-Sissi menanggapi kecaman organisasi HAM atas tindakan keras pemimpin Mesir itu terhadap pembangkang.
“Kalian tidak bisa menilai apa yang telah dilakukan Mesir untuk rakyatnya dan untuk stabilitas di kawasan, sebagai kediktatoran," kata El-sissi.
BACA JUGA: Meski Hadapi Kecaman, Presiden Mesir Kunjungi PerancisEl-Sissi sejauh ini dinilai telah bertindak keras terhadap kritikus di Mesir. Ia juga memenjarakan ribuan aktivis Muslim bersama aktivis pro-demokrasi, menjungkirbalikkan kebebasan yang diraih rakyat Mesir dalam Arab Spring atau pemberontakan di jazirah Arab pada tahun 2011, membungkam para kritikus dan menegakkan aturan yang kejam terhadap organisasi hak asasi.
"Kami tidak sepakat soal topik hak asasi dan kami membahasnya secara blak-blakan dengan presiden el-Sissi. Sama seperti yang kami bicarakan pada Januari 2019," ujar Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Presiden Macron menegaskan ia tidak akan membuat kerja sama pertahanan dan ekonomi antara Perancis dan Mesir bergantung pada ketidaksepakatan soal HAM.
“Kalau ada karikatur yang selama ini dibicarakan, itu bukan pesan dari Perancis untuk agama Anda atau komunitas Muslim. Orang itu sedang menjalankan kebebasannya menyampaikan pendapat. Betul. Karikatur itu memprovokasi, menghujat," kata Macron.
"Tetapi di negara saya, ia berhak melakukannya karena hukum Islam tidak berlaku. Ia melakukannya di negaranya sendiri yang berdaulat dengan hukum berbeda. Dan saya tidak akan mengubahnya untuk Anda. Itu adalah hukum rakyat Perancis yang berdaulat," lanjutnya.
Menanggapi pernyataan itu, Presiden El-Sissi mengatakan,"“Sangat penting bahwa ketika menyampaikan pendapat, dengan dalih nilai-nilai kemanusiaan, kita tidak melanggar nilai-nilai agama. Posisi nilai-nilai agama jauh lebih tinggi daripada nilai-nilai kemanusiaan."
Sedangkan Macron menegaskan," "Tidak ada agama, agama apa pun, karena terkadang orang yang mengejek Islam, yang menghina Anda, juga mengejek Katolik, Yahudi. Orang yang sama. Tidak ada agama yang berhak mendeklarasikan perang karena telah diejek."
Lebih dari 20 organisasi HAM merilis pernyataan bersama yang mengecam kemitraan strategis Perancis dengan Mesir. Mereka mengajak massa berdemonstrasi di dekat Majelis Nasional di Paris sehari setelah pertemuan El-sissi dan Macron. Beberapa hari sebelum kedatangan El-Sissi di Perancis, di tengah tekanan aktivis Barat dan PBB, pihak berwenang Mesir membebaskan tiga staf Egyptian Initiative for Personal Rights. Organisasi itu adalah satu dari sedikit organisasi HAM yang masih bertahan di Mesir.
BACA JUGA: Sutradara Mesir yang Kritis Terhadap el-Sissi, Meninggal di PenjaraStaf-staf yang ditahan pada November menyusul pertemuan dengan diplomat dari negara-negara Barat, dibebaskan, sementara menunggu penyelidikan atas tuduhan bahwa mereka menjadi anggota organisasi teroris dan menyebar berita bohong.
El-Sissi sering menyatakan bahwa ia membuat keputusan yang tegas guna memastikan stabilitas yang dibutuhkan. Ia merujuk pada perang dan kehancuran di Suriah, Yaman dan Libya.
Mesir adalah sekutu Amerika. Negara di Afrika Utara itu memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan negara-negara Eropa.
Pihak berwenang Perancis menganggap Mesir sebagai negara kunci dalam upaya menstabilkan kawasan itu yang bermasalah. Presiden Macron memperingatkan, bila tidak didukung Barat, Mesir akan beralih ke negara-negara otoriter saingan Barat yaitu: China dan Rusia. [ka/jm]