Majelis Hakim Pengadilan Negeri Singkil menjatuhkan hukuman enam tahun penjara terhadap Hotma Uli Natanael Tumangger, terdakwa kasus penembakan dalam kerusuhan di Aceh Singkil pada 13 Oktober lalu. Wahid merupakan warga yang dituduh menewaskan seorang warga lain saat peristiwa kerusuhan Aceh Singkil terjadi.
Baru-baru ini, Posko Kemanusiaan Lintas Iman dan Forum Cinta Damai Aceh Singkil mengadu ke Komnas HAM perihal putusan hakim tersebut yang dinilai janggal. Ketua Forum Damai Aceh Singkil (Forcidas) Boas Tumangger kepada wartawan di Jakarta, menilai proses pengadilan yang berjalan selama ini terintimidasi oleh tuntutan massa tertentu yang intoleran. Padahal dalam persidangan tidak pernah dihadirkan satu pun alat bukti, seperti senjata atau proyektil peluru.
Boas mengatakan, "Kepolisian dan Kejaksaan hingga hari ini tidak bisa membuktikan salah satu alat bukti bahwa saudara Hotma sebagai penembak."
Bukan hanya soal vonis 6 tahun terhadap Hotma Uli Natanael Tumangger yang dipersoalkan, Posko Kemusiaan Lintas Iman dan Forum Cinta Damai Aceh Singkil juga melaporkan soal perizinan gereja di wilayah Singkil yang masih menjadi masalah.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut Boas, pemerintah Kabupaten tidak mengakomodasi hak-hak yang seharusnya diterima oleh kelompok umat beragama tertentu, khususnya umat Nasrani di Singkil, terkait pemberian izin pembangunan rumah ibadah. Hal itu berpotensi menimbulkan konflik. Pasalnya izin pembangunan gereja di wilayah Singkil, Aceh semakin dipersulit setelah terjadinya peristiwa pembakaran gereja di wilayah itu.
Bahkan proses perizinan tiga belas gereja di Aceh Singkil yang sedang berjalan menurut Boas terhenti karena harus kembali mengulang dari awal dengan adanya aturan baru. Dia menjelaskan ketentuan-ketentuan yang sengaja menyulitkan pedirian rumah Ibadah diantaranya jumlah tanda tangan yang bertambah dari ketentuan Peraturan bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri dari 90 orang menjadi 120 orang.
Boas juga mengadukan tentang pendidikan di Aceh Singkil yang belum bebas dari praktik diskriminasi. Menurutnya sudah berpuluh-puluh tahun semua Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Aceh Singkil tidak memiliki guru agama Nasrani. Sedangkan pelajaran agama menjadi satu syarat bagi kelulusan siswa.
Siswa non-muslim harus mengikuti pelajaran agama Islam tambahnya, termasuk baca tulis Arab dan Al-Quran supaya bisa naik kelas atau lulus sekolah.
Boas Tumangger mengatakan kebijakan-kebijakan diskriminatif dan restriktif pemerintah kabupaten Aceh Singkil, baik dalam pemberian izin rumah ibadah maupun pendidikan agama bagi murid di sekolah negeri di Aceh Singkil justru menunjukan ketidakpedulian dan ketidakpahaman Pemerintah Kabupaten Aceh Sungkil dan Pemerintah Pusat dalam menciptakan perdamaian dan menjamin hak-hak setiap warganya untuk menjalankan agamanya secara bebas dan aman, serta untuk mendirikan rumah ibadah.
Untuk itu dia berharap, pemerintah pusat harus dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.
"Anak-anak itu ketika ujian yang harus mengikuti agama Islam.Ujian kenaikan kelas dan juga sehari-hari, jadi dengan terpaksa anak-anak kita dari non muslim mengikuti.Kalau anak-anak kita dari muslim di fasilitasi negara dan diberikan guru untuk belajar dan mempelajari agamanya sendiri," kata Boas.
Di tempat yang sama, tokoh masyarakat Muslim Aceh Singkil, Ramli Manik, manyatakan persoalan intoleransi dan diskriminasi terjadi lantaran ada orang yang sengaja dibiarkan berulah oleh pemerintah daerah setempat.
Hubungan antar umat beragama di Aceh Singkil, kata Ramli, pada dasarnya berjalan akur dan harmonis tanpa membedakan urusan keyakinan. Warga muslim di Aceh Singkil, tambahnya, bahkan sama sekali tak keberatan dengan pendirian rumah ibadah selama bangunan yang akan didirikan itu selama telah mengantongi izin dari pemerintah setempat.
"Jangan disalahtafsirkan umat Islam di sana tidak toleransi kepada umat nasrani.Salah satu contohnya ketika orang itu (nasrani) eksodus ke desa tetangga, kalau di sana benar-benar ada perang agama, itu minimal rumahnya dirusak atau dibakar," tambah Ramli.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun mengatakan lembaganya akan meminta Komisi Yudisial untuk menyelidiki soal putusan pengadilan negeri Singkil yang telah memvonis 6 tahun, salah satu jemaat gereja di Aceh, Singkil.
Terkait dengan perizinan tempat ibadah dan tidak adanya guru agama Kristen di Aceh singkil, Imdadun juga mengatakan akan menindaklanjutinya.
Imadun mengatakan "Yang didorong Komnas HAM tidak terjadi pemaksaan, tidak boleh ada keharusan baik secara langsung maupun tidak langsung." [fw/em]