Sejak disahkan sebagai inisiatif DPR, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) terus dikritisi. Ada beberapa bagian yang diminta untuk ditambahkan, dan sebagian lain dipertahankan dengan perbaikan.
Suara kritis itu antara lain muncul dari Komnas Perempuan. Siti Aminah Tardi. Komisioner lembaga ini memaparkan ada sejumlah hal yang belum ada, jika draft RUU TPKS bulan Desember 2021 disandingkan dengan usulan Komnas Perempuan pada 2020. Termasuk dalam bahasan yang belum ada itu adalah pemaksanaan aborsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan dan perbudakan seksual
“Baik sebagai tindak pidana berdiri sendiri atau unsur dalam tindak pidana, atau bisa menjadi pemberat pidana,” kata Siti, dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Alumni Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (29/1).
Selain itu, lanjut Siti, untuk tindak pidana berbasis siber, selain pelecehan seksual, yang belum ada dalam draft adalah rekayasa pornografi atau morphing.
“Juga penegasan hak korban atas penghapusan jejak digital. Ada di UU ITE namun alangkah baik, jika itu dijadikan hak. Tidak harus melalui penetapan pengadilan,” tambahnya.
Siti juga mengatakan, RUU TPKS perlu menegaskan peran lembaga nasional HAM dan lembaga independen, terkait pelaksanaan penghapusan kekerasan seksual.
BACA JUGA: DPR Sahkan RUU TPKS sebagai RUU InisiatifKomnas Perempuan juga melihat ada beberapa hal dalam draft terakhir RUU PKS yang patut dipertahankan walaupun tetap perlu disempurnakan. Menurut Siti sistematika pidana khusus internal pernah menjadi perdebatan tersendiri, apakah akan menggunakan sistematika pidana administrasi atau pidana khusus internal.
“Namun diskusi dengan para ahli hukum, Panja maupun Komnas Perempuan akhirnya merekomendasikan untuk pidana khusus internal. Karena dengan sistimatika pidana khusus internal, enam elemen kunci itu bisa diakomodir dan sekaligus mempertegas bahwa RUU ini adalah lex specialis, atau pidana khusus,” papar Siti.
Komnas Perempuan mengapresiasi pemilihan judul RUU yang sudah tepat. Selain itu, perumusan tindak pidana kekerasan seksual, termasuk kekerasan siber dengan pemidanaan sistem dua jalur juga tepat walaupun tetap harus dikritisi. Yang juga positif dari RUU ini adalah adanya sistem pembuktian kekerasan seksual dan hak atas restitusi serta pendampingan korban. Selain itu, ada juga bab tentang hak korban, keluarga korban dan saksi, yang dalam draft bulan Agustus tidak ada.
Memberi Dampak Luas
Ani Purwanti, dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro setuju jika RUU TPKS harus segera disahkan.
“Karena akan menjadi payung hukum dari berbagai peraturan kebijakan baru, dan juga pelaksanaannya dari peraturan yang lama, serta menjadi perubahan masyarakat. Otomatis, social of engineering-nya juga berjalan, terkait dengan tindak pidana kekrasan seksual ini,” kata Ani.
Jika sudah disahkan menjadi undang-undang, RUU TPKS akan berdampak bagi aturan hukum lain yang sudah ada terkait kekerasan seksual. Misalnya, kata Ani, UU TPKS nantinya akan menjadi payung hukum bagi Permendikbudristek 30. Pengesahan RUU TPKS akan mendorong perguruan tinggi lebih serius dalam melindungi dan mencegah adanya korban-korban kekerasan seksual di lingkungan mereka.
BACA JUGA: Organisasi Perempuan Aisyiyah Sampaikan Masukan Terkait RUU TPKS“Demikian juga terhadap Peraturan Mahkamah Agung No 3 tahun 2017, yang menjadi pedoman hakim dalam perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum,” lanjut Ani.
Dengan UU TPKS nantinya perspektif hakim akan menjadi lebih baik dalam mengadili perkara yang melibatkan perempuan, khususnya dalam kasus kekerasan seksual, baik sebagai korban maupun pelaku.
Selain itu, dampaknya juga bisa dirasakan terhadap Peraturan MA tentang dispensasi kawin.
“Mudah-mudahan hakim tidak asal memberikan dispensasi, karena sebenarnya usia 19 itu juga masih banyak menyumbang kematian ibu melahirkan dan kematian anak. Jadi, dispensasi harus diberikan dengna benar, tidak asal. Harapannya, bisa melindungi perempuan,” lanjut Ani.
PKS Minta Pasal Asusila
Fraksi PKS sendiri menjadi satu-satunya yang menolak pengesahan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR pada 18 Januari 2022 lalu. Alasannya, menurut Juru bicara F-PKS Kurniasih Mufidayati, RUU itu belum komprehensif.
“Pada pandangan fraksi dalam paripurna, kami belum menerima RUU TPKS ini sebagai RUU inisiatif dari DPR RI, karena masih belum komprehensif, dari sudut pandang kami,” kata Kurniasih dalam diskusi ini.
PKS memandang, negara harus juga mengatur mengenai tindak asusila, yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
BACA JUGA: RUU Perlindungan PRT dan RUU TPKS, Dua PR Utama DPR“Kalau kita biarkan terjadinya penyimpangan seksual dan seks bebas yang berkelanjutan, ini bertentangan dengan Pancasila. Karenanya, kami ingin norma-norma Pancasila ini menjadi prioritas landasan dari RUU ini dan bisa komprehensif, perlindngannya, pencegahannya, bahkan pendidikannya,” lanjutnya.
Sebelumnya, PKS mengusulkan dua hal dalam pembahasan di DPR. Usulan pertama mereka adalah menarik beberapa pasal yang terkait kejahatan seksual dan tindak pidana kesusilaan, dari RUU KUHP masuk ke RUU TPKS. Usulan kedua adalah agar RUU KUHP itu, yang memuat penindakan tindak asusila, segera disahkan. Namun, dua usulan itu mentah di Senayan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Sehingga di pandangan terakhir, kami harus menyampaikan, bahwa kami belum bisa menerima RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR,” ujar Kurniasih memberi alasan.
Organisasi perempuan Muhammadiyah, yaitu Aisyiyah juga sudah mengusulkan, agar ada penambahan pengaturan terkait tindak asusila ini, sebelum draft yang ada disahkan. [ns/ah]