Susi: Kapal Asing Akan Dilarang Menangkap Ikan di Indonesia

  • Fathiyah Wardah

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. (Foto: Dok)

Sesuai UU, hanya nelayan Indonesia yang dapat menangkap ikan di wilayah Indonesia. Pihak asing hanya diizinkan membeli hasil tangkapan ikan dari nelayan Indonesia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan akan melarang untuk selamanya penangkapan ikan oleh kapal asing dan kapal bekas asing di wilayah Indonesia, meskipun moratorium atau masa pemberhentian sementara izin penangkapan itu akan berakhir Oktober ini. ​

Susi mengatakan kepada VOA di Jakarta ia akan langsung mengambil tindakan tegas dengan melarang penangkapan ikan oleh kapal asing dan eks asing di seluruh wilayah Indonesia untuk selamanya, tanpa batas waktu.

Menurut Susi, sesuai undang-undang, maka hanya nelayan Indonesia yang dapat menangkap ikan di wilayah Indonesia. Pihak asing hanya diizinkan membeli hasil tangkapan ikan dari nelayan Indonesia.

“Kapal-kapal asing nangkap ikan di wilayah kita tetapi nelayan kita tidak dapat ikan lagi. Tidak fair-nya penangkapan, di laut sana kapal gede-gede, nelayan kita pakai kapal tradisional, ya miskinlah mereka," ujarnya.

Yang dimaksud sebagai kapal asing adalah kapal yang memang milik negara lain, di luar Indonesia. Sementara yang dimaksud kapal eks asing adalah kapal asing yang dibeli oleh pengusaha Indonesia, tetapi operasi dan kepemilikannya masih merupakan usaha gabungan.

Kapal asing mudah dikenali karena menggunakan bendera negara bersangkutan. Tetapi kapal eks asing sulit dikenali karena menggunakan bendera Indonesia tetapi tidak mematuhi aturan operasional kapal atau memenuhi kewajiban memasukkan pendapatan ke kas negara.

Susi mengatakan telah mengidentifikasi kapal-kapal asing dan eks asing yang sering melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Sebagian besar diketahui berasal dari Thailand, China, Filipina, Taiwan dan Korea Selatan.

“Kapal-kapal asing nangkap ikan di wilayah kita, tetapi nelayan kita tidak dapat ikan lagi. Tidak fair penangkapan ini. Di laut sana kapal gede-gede, nelayan kita pakai kapal tradisional, ya miskin lah mereka," ujarnya.

Ditambahkannya, sudah saatnya kementeriannya mengucurkan lebih banyak dana kepada nelayan Indonesia, sambil sekaligus membenahi aturan penangkapan ikan, termasuk soal zona dan kuota penangkapan ikan.

“Tidak boleh semua orang bikin kapal terus dapat izin tangkap! Tidak bisa begitu! Kan kita akan menjadikan laut sebagai masa depan bangsa. Jadi kita atur penangkapan ikannya, tidak boleh sampai menghabiskannya," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Jendral Perikanan di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Narmoko Prasmadji mengatakan, menurut rencana 67 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 yang dianggarkan bagi Kementeri akan dialirkan pada masyarakat, termasuk menyediakan 4.000 kapal bagi nelayan.

Total anggaran yang disiapkan untuk itu mencapai sekitar Rp 4,7 triliun. Selain itu pihaknya juga akan meningkatkan anggaran untuk penanaman bakau dan alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan.

Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menyambut baik inisiatif Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut. Menurutnya, pemerintah tidak perlu khawatir dengan protes dan gugatan negara-negara lain terhadap kebijakan baru itu.

Namun, ujarnya, pemerintah perlu segera merevisi UU perikanan dan aturan terkait lainnya, agar tidak memberi peluang pada kapal asing dan eks asing untuk memperoleh izin menangkap ikan di perairan Indonesia.

“Hari ini 98 persen armada perikanan kita itu secara legal menangkap ikannya di daerah perairan kepulauan di bawah 12 mil laut. Kurang dari 2 persen saja yang menangkap di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dengan asumsi seperti itu maka pemerintah berkewajiban memberikan kemudahan-kemudahan agar armada perikanan kita bisa beroperasi secara berdaulat di daerah ekonomi eksklusif Indonesia," ujarnya.

Ketua Tim Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal Mas Achmad Santosa mengatakan selama masa moratorium, pihaknya telah selesai melakukan analisa dan evaluasi terhadap 1.132 kapal dan 1.187 pemilik kapal.

Hasilnya, semua kapal eks asing terbukti melakukan pelanggaran operasional, dengan tingkat berbeda-beda. Mulai dari tidak menyalakan sistem pemantauan kapal (VMS), melakukan “alih muatan” di tengah laut hingga mempekerjakan awak kapal asing. [hd]