“Tahun ini tanggal 13 November jatuh pada hari Jumat, persis seperti 22 tahun lalu ketika cinta kasih kami direnggut oleh aparat bersenjata yang menjadi alat rejim,” demikian ujar Maria Catarina Sumarsih membuka pembicaraan dengan VOA, mengenang putranya Bernardinus Realino Norma Irmawan atau yang biasa disapa Wawan.
Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta, adalah salah seorang korban Peristiwa Semanggi I, yang terjadi pada tanggal 13 November 1998. Peristiwa yang berawal dari demonstrasi damai menentang pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR, bergulir menjadi bentrokan berdarah yang menewaskan 17 warga sipil, termasuk enam mahasiswa. Salah seorang di antaranya adalah Wawan.
“Tragedi Semanggi I ini terjadi tepat pada tahun yang sama ketika Presiden Soeharto turun setelah berkuasa selama lebih dari 32 tahun. Mungkin generasi baru tidak mengetahui peristiwa ini atau latar belakangnya, jadi saya tidak akan bosan-bosan menyampaikannya kembali,” ujar Sumarsih.
Insiden ini terjadi kurang dari enam bulan setelah demonstrasi besar-besaran dan pergolakan politik yang mendorong reformasi di seluruh bidang.
Setelah Soeharto menyatakan mundur dari jabatan presiden, pada 10-13 November 1998 berlangsung Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie. Para mahasiswa menolak hal itu karena mensinyalir akan digunakan untuk ajang konsolidasi kroni Soeharto.
"Mahasiswa ingin ada pemilu terlebih dahulu. Tragedi Semanggi I dan kemudian setahun kemudian terjadi Tragedi Semanggi II merupakan pelanggaran HAM berat yang tidak kunjung selesai,” imbuhnya.
Tak Pernah Surut Langkah, Sumarsih Tuntut Penyelidikan
Sumarsih, ibu dua anak yang pada tahun 1990-an itu bekerja di Sekretariat DPR, tak pernah surut langkah menuntut penyelidikan terhadap Tragedi Semanggi I yang menewaskan Wawan. Ia bahkan menjadi salah satu tokoh vokal dari kelompok orang tua yang anak-anaknya menjadi korban penembakan dan aksi kekerasan pada masa reformasi.
Ditemani beberapa LSM, Sumarsih rajin mengikuti rapat-rapat panitia khusus di DPR hingga aksi unjuk rasa menuntut penyelesaian penyelidikan kasus itu.
“Para presiden di Indonesia kerap menggunakan peristiwa penembakan para mahasiswa dan pelanggaran HAM berat lain sebagai komoditas politik untuk meraup suara. Ini juga terjadi pada pemerintahan Jokowi. Malah pada pemerintahan kedua lebih parah lagi karena beliau menunjuk Prabowo Subianto, yang dipecat dari militer karena diduga kuat terlibat dalam pelanggaran HAM tahun 1998 dan juga aksi kekerasan di Timor Timur, menjadi menteri pertahanan. Dua anggota eks Tim Mawar, yang menculik mahasiswa pada tahun 1997-1998 malah diangkat menjadi pejabat Kemhan,” ujar Sumarsih lirih.
PTUN Menangkan Gugatan Hukum terhadap Jaksa Agung
Sumarsih, yang sejak kematian Wawan berpuasa setiap hari Kamis hingga Sabtu, hari-hari di mana putranya ditembak dan dimakamkan, Januari lalu sempat mengajukan tuntutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN Jakarta menggugat pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada 16 Januari.
Ketika itu Burhanuddin mengatakan bahwa Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan pelanggaran HAM berat dan “seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan dibentuknya pengadilan ad hoc berdasarkan rekomendasi DPR kepada Presiden.”
BACA JUGA: PTUN Jakarta Putuskan Jaksa Agung Melawan Hukum Dalam Kasus SemanggiPTUN Jakarta memutuskan pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin itu merupakan “perbuatan melawan hukum” dan mewajibkannya membuat pernyataan tentang penanganan kasus itu “dengan keadaan yang sebenarnya” dalam rapat kerja Komisi III DPR mendatang.
Kapuspenkum langsung menolak putusan PTUN dan mengatakan akan mengambil langkah hukum lain. Namun keluarga korban dan “Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II” yang mengajukan gugatan itu menyambut baik putusan tersebut dan meminta Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja jaksa agung, menuntaskan penyelidikan dan membawa kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang “terbengkalai” ke pengadilan HAM ad hoc.
Sumarsih : Saya Sudah Melakukan Segalanya
“Saya sangat yakin penyelesaian pelanggaran HAM berat itu tergantung kemauan politik. Selama tidak ada kemauan politik dari pemerintah maka itu tidak akan selesai,” ujar Sumarsih.7
Tetapi perempuan yang sebelum pandemi virus corona rajin menggelar “Aksi Kamisan” di depan Istana Kepresidenan di Jakarta itu buru-buru menambahkan bahwa ia sudah pasrah.
“Saya sudah melakukan segalanya. Saya sudah ikuti prosedur agar peristiwa ini diselidiki setuntas-tuntasnya. Saya sudah kirim surat ke presiden, mengikuti sidang-sidang di DPR dan kini saya ikut Aksi Kamisan dengan anak-anak muda, yang bahkan juga dilakukan di 43 kota lain selain Jakarta. Saya tahu saya tidak lagi bisa berharap pada Presiden Jokowi, tetapi kini sudah ada generasi baru, anak-anak muda yang akan melanjutkan perjuangan kami. Termasuk jika saya sudah... jika saya sudah meninggal,” ujarnya dengan suara nyaris tak terdengar.
Lebih jauh Sumarsih, yang kini berusia 68 tahun, mengatakan yang menyemangatinya hingga sekarang adalah agenda yang diperjuangkan Wawan dan kawan-kawannya pada tahun 1998 itu.
“Cinta saya pada Wawan bertransformasi pada perjuangan untuk menegakkan supremasi hukum dan HAM, yang juga menjadi agenda perjuangannya,” tambahnya.
Puisi Tak Berjudul
Setiap tanggal 13 November, Sumarsih mengenang salah satu puisi yang ditulis Wawan di lembar bukunya, yang bahkan belum sempat diberi judul. Sebuah radio di Jakarta kerap membacakan puisi ini pada tanggal 13 November (saat terjadinya Peristiwa Semanggi I), tanggal 12 Mei (saat terjadinya Peristiwa Trisakti) dan tanggal 24 September (saat terjadinya Peristiwa Semanggi II).