Hingga satu hari sebelum Lebaran, Posko Pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR) masih mencatat begitu banyak kendala pembayaran yang belum terselesaikan. Skema cicilan yang diijinkan pemerintah, juga dijalankan tanpa memenuhi syarat yang ditetapkan.
Sejak 29 April 2021, posko pengaduan THR telah menerima laporan melalui survei daring untuk memetakan persoalan ini. Posko itu sendiri dikelola oleh YLBHI, PSHK, LBH Jakarta, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI).
Dian Septi, Rabu (12/5), dalam paparan kepada media mengatakan persoalan THR di kalangan Pekerja Rumah Tangga (PRT) termasuk dalam laporan yang mereka susun. Pemerintah sendiri belum memberi kewajiban kepada pemberi kerja atau majikan untuk menyediakan THR bagi PRT.
“Responden survei berasal dari 50 perusahaan, dengan 19 sektor usaha. Ditambah pekerja rumah tangga di 22 kabupaten di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara,” kata Dian.
Dari data yang ada, Dian membeberkan ada 13,28 persen responden buruh yang besaran THR dibayarkan sesuai ketentuan, tetapi dicicil. Sebanyak 15,4 persen menerima THR dengan tidak dicicil, tetapi besarannya dikurangi. Selanjutnya 3,3 persen THR dibayarkan secara dicicil dan besarannya jika diakumulasikan kurang dari ketentuan. Sedangkan 2,4 persen responden buruh melaporkan menerima THR hanya berupa bingkisan dan 17,1 persen tidak menerima mendapat THR sama sekali.
Jika dijumlahkan, maka sekurangnya ada 52 persen responden buruh yang menyatakan hak THR mereka tidak dipenuhi sesuai Permenaker 6/2016. Dari jumlah itu, 30 persen adalah buruh perempuan dan 22 persen laki-laki.
“Dengan demikian, terdapat kecenderungan bahwa perempuan menjadi pihak yang lebih terdampak pelanggaran hak THR,” tambah Dian.
Buruh, kata Dian, menuntut perlindungan yang lebih dari pemerintah. Karena ekonomi Indonesia didorong oleh konsumsi, maka THR menjadi penting karena akan membantu pemulihan ekonomi. Insentif, lanjut Dian, jangan diberikan kepada pengusaha saja, tetapi juga kepada buruh.
Pemerintah juga diharap bersikap tegas kepada perusahaan yang melanggar ketentuan terkait THR. Jika ada kasus perusahaan tidak mampu membayar penuh, lanjut Dian, seharusnya pemerintah menalangi pembayaran hingga 100 persen. Pemerintah juga diminta membuat aturan yang jelas terkait prosedur jika sebuah perusahaan tidak bisa membayar THR.
BACA JUGA: Buruh Tolak THR DicicilNelson Nikodemus Simamora dari LBH Jakarta mengatakan, seperti tahun lalu, kali ini pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan pembayaran THR 2019 dengan cara dicicil oleh perusahaan. Secara terbuka, pemilik perusahaan diminta memenuhi kewajibannya karena pemerintah juga sudah mengeluarkan dana sangat besar untuk mendukung sektor usaha.
“Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bilang bahwa pemerintah berharap pengusaha memberikan THR, karena pemerintah sudah melakukan banyak hal, mengeluarkan banyak uang, misalnya untuk kartu Prakerja, kemudian ada Bansos, juga uang untuk vaksin,” kata Nelson.
Pemerintah juga menetapkan denda 5 persen jika terjadi keterlambatan pembayaran. Termasuk menetapkan syarat pembukaan laporan keuangan bagi perusahaan yang ingin mencicil pembayaran THR. Langkah itu bahkan harus dengan kesepakatan bersama buruh.
“Yang jadi masalah adalah, tidak semua perusahaan yang tidak memberikan THR, memberitahukan kondisi keuangan perusahaan saat ini jika mereka tidak mampu,” kata Nelson.
Your browser doesn’t support HTML5
Ia juga menilai, pelaksanaan peraturan yang ditetapkan tidak diawasi secara konsisten baik oleh kementerian atau dinas-dinas di daerah. Selain itu, pos pengaduan THR yang dibuka jika tidak jelas kinerjanya, termasuk apa yang dilakukan terhadap laporan-laporan yang sudah disampaikan buruh. Nelson bahkan mempertanyakan, apakah posko-posko pengaduan THR yang disediakan pemerintah hanya sebagai pencitraan saja.
“Seharusnya pengawasan itu berjalan, karena tugasnya memang seperti itu. Untuk melakukan pengawasan dan memaksa atau memiliki daya paksa, untuk menerapkan hukum perburuhan atau ketenagakerjaan. Tetapi seringkali, berdasar pengalaman kita, itu tidak terlaksana,” tambah Nelson.
Pembayaran Dinilai Sesuai
Sementara itu, dalam peryataan terkain hal ini, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebut pembayaran THR Keagamaan tahun 2021 telah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pernyataannya itu didasarkan pada laporan yang masuk ke Kemnaker melalui Posko THR. Ida juga memastikan pihaknya terus memantau pelaksanaan pembayaran THR melalui Posko yang ada, baik di pusat maupun di daerah.
"Kami mendapat laporan sudah banyak perusahaan yang membayar THR. Kita beri apresiasi kepada perusahaan yang sudah bayar THR," kata Ida Fauziyah dalam keterangan resmi kementerian, Selasa (11/5).
Berdasarkan laporan Posko THR Keagamaan 2021 Kementerian Ketenagakerjaan, sejak 20 April hingga 10 Mei, tercatat 2.278 laporan. Jika dirinci, ada 692 laporan adalah konsultasi dan 1.586 pengaduan. Lebih rinci lagi, topik konsultasi yang disampaikan setidaknya terbagi dalam lima isu. Pertama, THR bagi pekerja yang masa kerjanya selesai, kemudian THR bagi pekerja yang di-PHK. Isu ketiga adalah THR bagi pekerja yang mengundurkan diri, selanjutnya THR bagi pekerja kemitraan dan terakhir THR bagi pekerja yang dirumahkan.
“Sedangkan beberapa topik pengaduan yang masuk ke Posko THR 2021 yakni THR dibayar dicicil oleh perusahaan, THR dibayarkan 50 persen (50-20 persen), THR dibayar tidak penuh karena ada pemotongan gaji, THR tidak dibayarkan 1 bulan gaji atau THR tidak dibayar karena COVID-19,” lanjut Ida.
BACA JUGA: Festival Pekerja Hari Gini di Hari Buruh 1 MeiKementerian mengambil empat langkah tindak lanjut, yaitu verifikasi data internal, kordinasi dengan Disnaker daerah, menurunkan tim pengawas, serta proses dialog dan kesepakatan penyelesaian.
"Semoga upaya yang kita lakukan akan semakin memastikan para pekerja/buruh bisa merayakan lebaran dengan khidmat dan tentunya selalu berpedoman pada prokes COVID-19,” pungkasnya. [ns/ab]