Walhi Jawa Barat mencatat provinsi Pasundan ini memiliki setidaknya 12 kasus lingkungan yang masih mandek. Ketua Walhi Jabar, Dadan Ramdan, mengatakan kasus-kasus ini meliputi kerusakan dan pencemaran, konflik dan sengketa lingkungan, bencana lingkungan, dan pembangunan infrastruktur skala besar; yang angka-angkanya terus bertambah.
“Tetapi faktanya itu adalah semakin bertambah. Dan ini sebangun dengan problem bencana lingkungan yang kita hadapi. Dari tahun ke tahun, tren bencana lingkungan semakin meningkat, korban pun semakin meningkat,” ungkapnya dalam orasi memperingati hari hak asasi manusia di Bandung, Senin (10/12) siang.
Dua belas kasus di Jabar itu antara lain penggusuran lahan untuk kereta cepat Jakarta-Bandung, pembangunan PLTU batu bara di Indramayu, serta pertambangan besi yang merusak pesisir pantai dan hutan di Sukabumi.
Badan Pusat Statistik mencatat ekonomi Provinsi Jawa Barat tumbuh 6,02% lebih tinggi dari rata-rata nasional 5,06%. Dadan mengatakan, potensi daerah Jawa Barat memang besar sehingga menjadi tujuan investasi. Tapi pembangunan itu belum dikelola dengan baik.
“Memang strategis bagi tumbuhnya investasi-investasi baik itu untuk infrastruktur skala besar, properti, pembangunan sarana komersil, investasi para pemodal, para akumulator kapital, karena kita memang sudha ditakdirkan kaya. Kaya atas air, energi, pangan dan keragaman budaya namun itu semua belum dinikmati secara maksimal dan adil oleh 47 juta rakyat Jawa Barat,”
Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Majalengka dan Waduk Jatigede di Sumedang, misalnya, menyisakan masalah kompensasi masyarakat. Walhi bahkan menilai Waduk Jatigede justru merusak lingkungan.
Jawa Barat sendiri terus menggenjot pembangunan infrastruktur dengan empat jalur tol baru, bandara internasional, pelabuhan, dan penambahan jalur rel kereta api. Walhi Jawa Barat memperkirakan tidak ada perubahan arah pembangunan di bawah Gubernur Ridwan Kamil.
Dalam wawancara eksklusif dengan VOA beberapa waktu lalu, Ridwan Kamil yang kini jadi gubernur Jawa Barat, mengatakan pembangunan bisa dikendalikan lewat rencana tata ruang. Kata dia, tidak ada “kemajuan tanpa pengorbanan”.
“Pembangunan tidak bisa distop, pembangunan dikendalikan. berarti tata ruang yang sensitif harus mantap. Kemudian pemukiman yang vertikal harus dipromosikan agar tidak semua harus horizontal. (Kalau) semua ingin punya rumah, ya habislah lahannya. Belajarlah hidup vertikal,” ujarnya kepada VOA.
“Jadi tata ruang nomor satu, di situlah kita melindungi sumber air, sumber adat budaya, sumber pangan, dan lainnya. Kalau kriteria-kriterianya tidak terganggu, harusnya kita tidak masalah dalam membangun infrastruktur,” jelasnya.
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, sepanjang tahun 2018 terjadi 1.399 bencana lingkungan, yang mencakup : 452 kejadian tanah longsor, 416 kebakaran hutan, 260 puting beliung, 123 banjir, 141 kebakaran hutan dan lahan, 5 gelombang pasang, serta 2 gempa bumi. (rt/em)