Sejarawan sekaligus peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menyebut ada 30 ribuan tesis dan disertasi yang disimpan di Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) LIPI telah dimusnahkan. Menurutnya, hal tersebut merupakan langkah lanjutan dari reorganisasi yang dilakukan Kepala LIPI Laksana Handoko. Salah satunya yaitu upaya digitalisasi karya yang bakal diterima PDII LIPI.
Menurut Asvi, pemusnahan karya tersebut semestinya tidak diperlukan, meskipun digitalisasi akan dilakukan.
"Dokumentasi yang lama, buku, disertasi dan lain-lain itu kan tidak seharusnya dihilangkan. Itu yang akan datang baru nanti diutamakan menerima yang sifatnya digital atau dilakukan digitalisasi. Tetapi itu tidak berarti membuang," jelas Asvi kepada VOA, Senin (11/3).
Asvi Warman menambahkan koleksi tesis dan disertasi tersebut berasal dari berbagai kampus di Indonesia. Di samping itu, sebagian koleksi juga berasal dari luar negeri dengan cara membeli dengan harga 65 dolar Amerika Serikat per karya.
"Saya meminta Kepala LIPI mengembalikan disertasi tersebut ke rak semula. Karena kami memiliki foto-foto saat disertasi tersebut saat masih ada dan sekarang raknya sudah kosong," imbuhnya.
Masalah lain, kata Asvi yaitu Pelaksana tugas kepala PDII LIPI yang ditunjuk Kepala LIPI bukanlah seorang pustakawan seperti pendahulunya. Melainkan orang yang berlatar belakang teknologi informasi (IT).
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris berharap pemerintahan Joko Widodo mengganti Kepala LIPI Laksana Handoko. Ia beralasan kebijakan-kebijakan yang diambil Handoko tidak memiliki visi, serta tidak direncanakan dengan matang dan target yang jelas.
"Semoga pemerintah Jokowi segera mengakhiri kisruh di LIPI sebelum lembaga riset terbesar dan bersifat multidisiplin ini hancur lebur," tutur Syamsuddin Haris.
PDII: Kondisi Koleksi Sudah Tidak Layak
Menjawab itu, Pelaksana tugas Kepala PDII LIPI Hendro Subagyo mengatakan tesis dan disertasi yang dihapus atau dimusnahkan sudah tidak layak kondisinya. Namun, ia tidak mengetahui jumlah pasti dan proses pemusnahan koleksi tesis dan disertasi tersebut. Termasuk, benar tidaknya koleksi tersebut dijual ke loak atau tempat penjualan barang bekas.
Hanya, ia memastikan karya-karya tersebut masih tersimpan di perguruan tinggi asal sebelum kebijakan tersebut diambil. Hendro juga memastikan proses pemusnahan tersebut sudah dilakukan sesuai prosedur.
"Kondisinya sudah sangat tidak memungkinkan untuk digitalisasi. Itu di zaman dulu, tesis tahun 80-90an yang sudah lama ada di situ tidak diolah-olah. Karena kondisi ruangan kadang hujan, lembab. Jadi itu tidak memungkinkan kita olah," jelas Hendro kepada VOA.
Selain itu, Hendro menambahkan kebijakan tersebut dilakukan agar tidak mengganggu kegiatan atau kinerja lembaganya. Termasuk agar tidak membebani anggaran dari biaya perawatan yang dibutuhkan PDII. Namun, ia tidak merinci berapa biaya yang dibutuhkan untuk perawatan tersebut sehingga lembaganya mengambil keputusan pemusnahan koleksi tesis-disertasi.
"Untuk bersih-bersih itu, office boy nya harus pakai masker dan macam-macam peralatan. Kondisinya memang tidak terawat yang tesis, tidak ada yang mau merawat karena sudah berbahaya. Jadi gambaran valuasinya kira-kira perlu biaya berapa, ya pasti kesehatan teman-teman lebih mahal. Daripada kesehatan teman-teman saya sakit, lebih baik saya korbankan masalah ini," tambah Hendro Subagyo. (sm/em)