Sangat sulit menjadi diktator di masa sekarang ini, menurut paling tidak satu analis. Seiring dengan tingkat pertumbuhan demografi yang pesat dan pertumbuhan angka pengangguran untuk lulusan universitas yang tinggi, rejim otoriter modern menghadapi tantangan yang menghebat.
Namun para diktator tersebut merespon tantangan tersebut dengan menggunakan teknik abad 21, untuk memegang kekuasaan dan mempertahankan status quo.
Dalam pertarungan antara represi dan kemerdekaan pada abad 21, pergerakan oposisi makin mengarah ke teknologi modern dan metode tanpa kekerasan. Jadi, sementara di masa lalu para diktator menjauhkan senjata dari tangan masyarakat, kolumnis majalah Slate William Dobson, tujuan mereka sekarang adalah mencegah orang-orang turun ke jalan.
“Mengapa saya harus peduli apa yang kamu pikirkan? Saya hanya ingin kamu tidak berpartisipasi [dalam demonstrasi]. Kamu seharusnya tidak turun ke jalan,” ujar Dobson, memosisikan diri sebagai diktator.
Dobson, penulis buku The Dictator's Learning Curve: Inside the Global Battle for Democracy [Pembelajaran diktator: Pertarungan Global untuk Demokrasi], baru-baru ini berbicara dalam konferensi mengenai diktator dan otoriterianisme di Washington.
Juga termasuk dalam panel adalah SrdjaPopovic, pendiri dan pemimpin pergerakan mahasiswa Serbia yang menurunkan diktator Slobodan Milosevic dari kekuasaan pada 2000.
Popovic mengatakan ada kesamaan antara protes-protes yang ia pimpin di Serbia dan gerakan di Rusia yang dimulai tahun lalu setelah sengketa pemilihan parlementer.
“Pergerakan-pergerakan ini dipimpin oleh mahasiswa dan kelompok kelas menengah. Mereka penuh antusiasme dan humor, dan mereka menggunakan taktik-taktik kreatif dan humoris,” ujar Popovic.
“Anda akan kagum jika tahu bagaimana kelompok-kelompok yang berbeda, tidak hanya dari dunia Arab namun juga dari tempat-tempat seperti Rusia, belajar secara cepat satu sama lain dengan adakanya kemajuan teknologi.”
Namun rejim otoriter modern juga belajar dari para aktivis. Marc Lynch dari George Washington University menunjukkan bagaimana para diktator menggunakan alat-alat yang sama – Internet, media sosial, SMS – untuk menghancurkan gerakan oposisi.
”Salah satu karakteristik dekade 2000-an adalah bagaimana para aktivis belajar dari satu sama lain dan bagaimana masing-masing rejim juga mengambil pelajaran dari rejim lain, serta dari pengalaman negara-negara lain,” ujar Lynch.
Ia menambahkan bahwa rejim-rejim seperti di Mesir, misalnya, dapat menemukan cara untuk menahan serangan oposisi dan beradaptasi kembali.
“Jika Anda lihat Mesir sekarang ini, memang media baru memungkinkan aktivis untuk mengorganisir dan berkomunikasi serta menyebarkan pesan lewat cara-cara yang inovatif. Namun rejim militer juga menggunakan televisi pemerintah untuk menyebarkan hasutan sektarian untuk mendelegitimasi dan memfitnah para pemrotes, dan untuk menyebarkan ketakutan akan kerusuhan dan kekacauan secara luas, yang membantu membuat orang melawan revolusi,” jelasnya.
Lynch mengatakan bahwa situasi di Syria menunjukkan bagaimana rejim otoriter memang memiliki basis dukungan, dimana sejumlah besar orang merasa sangat terancam dengan kemungkinan perubahan. Dalam situasi seperti ini, tuturnya, metode-metode non-kekerasan sangat penting. (Vivian Chakarian)
Namun para diktator tersebut merespon tantangan tersebut dengan menggunakan teknik abad 21, untuk memegang kekuasaan dan mempertahankan status quo.
Dalam pertarungan antara represi dan kemerdekaan pada abad 21, pergerakan oposisi makin mengarah ke teknologi modern dan metode tanpa kekerasan. Jadi, sementara di masa lalu para diktator menjauhkan senjata dari tangan masyarakat, kolumnis majalah Slate William Dobson, tujuan mereka sekarang adalah mencegah orang-orang turun ke jalan.
“Mengapa saya harus peduli apa yang kamu pikirkan? Saya hanya ingin kamu tidak berpartisipasi [dalam demonstrasi]. Kamu seharusnya tidak turun ke jalan,” ujar Dobson, memosisikan diri sebagai diktator.
Dobson, penulis buku The Dictator's Learning Curve: Inside the Global Battle for Democracy [Pembelajaran diktator: Pertarungan Global untuk Demokrasi], baru-baru ini berbicara dalam konferensi mengenai diktator dan otoriterianisme di Washington.
Juga termasuk dalam panel adalah SrdjaPopovic, pendiri dan pemimpin pergerakan mahasiswa Serbia yang menurunkan diktator Slobodan Milosevic dari kekuasaan pada 2000.
Popovic mengatakan ada kesamaan antara protes-protes yang ia pimpin di Serbia dan gerakan di Rusia yang dimulai tahun lalu setelah sengketa pemilihan parlementer.
“Pergerakan-pergerakan ini dipimpin oleh mahasiswa dan kelompok kelas menengah. Mereka penuh antusiasme dan humor, dan mereka menggunakan taktik-taktik kreatif dan humoris,” ujar Popovic.
“Anda akan kagum jika tahu bagaimana kelompok-kelompok yang berbeda, tidak hanya dari dunia Arab namun juga dari tempat-tempat seperti Rusia, belajar secara cepat satu sama lain dengan adakanya kemajuan teknologi.”
Namun rejim otoriter modern juga belajar dari para aktivis. Marc Lynch dari George Washington University menunjukkan bagaimana para diktator menggunakan alat-alat yang sama – Internet, media sosial, SMS – untuk menghancurkan gerakan oposisi.
”Salah satu karakteristik dekade 2000-an adalah bagaimana para aktivis belajar dari satu sama lain dan bagaimana masing-masing rejim juga mengambil pelajaran dari rejim lain, serta dari pengalaman negara-negara lain,” ujar Lynch.
Ia menambahkan bahwa rejim-rejim seperti di Mesir, misalnya, dapat menemukan cara untuk menahan serangan oposisi dan beradaptasi kembali.
“Jika Anda lihat Mesir sekarang ini, memang media baru memungkinkan aktivis untuk mengorganisir dan berkomunikasi serta menyebarkan pesan lewat cara-cara yang inovatif. Namun rejim militer juga menggunakan televisi pemerintah untuk menyebarkan hasutan sektarian untuk mendelegitimasi dan memfitnah para pemrotes, dan untuk menyebarkan ketakutan akan kerusuhan dan kekacauan secara luas, yang membantu membuat orang melawan revolusi,” jelasnya.
Lynch mengatakan bahwa situasi di Syria menunjukkan bagaimana rejim otoriter memang memiliki basis dukungan, dimana sejumlah besar orang merasa sangat terancam dengan kemungkinan perubahan. Dalam situasi seperti ini, tuturnya, metode-metode non-kekerasan sangat penting. (Vivian Chakarian)