Pemerintah Sudan pada Minggu (29/12) dengan tegas menolak laporan yang didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menetapkan bahwa kelaparan telah menyebar ke lima wilayah di negara yang dilanda perang itu.
Tinjauan Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC), yang digunakan oleh badan-badan PBB, dikeluarkan setelah peringatan berulang kali dari PBB, kelompok-kelompok bantuan lainnya, dan Amerika Serikat tentang situasi kelaparan di negara Afrika timur laut itu.
IPC mengatakan pekan lalu bahwa perang antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) telah menghadirkan situasi kelaparan bagi 638.000 orang, dengan 8,1 juta lainnya berada di ambang kelaparan massal.
Pemerintah yang berpihak pada tentara “dengan tegas menolak deskripsi IPC tentang situasi di Sudan sebagai kelaparan,” kata kementerian luar negeri negara itu dalam sebuah pernyataan.
Pernyataan itu menyebut laporan itu “pada dasarnya spekulatif” dan menuduh IPC melakukan kegagalan prosedural dan transparansi.
Mereka mengatakan bahwa tim tersebut tidak memiliki akses ke data lapangan yang diperbarui dan belum berkonsultasi dengan tim teknis pemerintah mengenai versi final sebelum dipublikasikan.
IPC tidak segera menanggapi permintaan komentar dari kantor berita AFP. Di situs webnya, IPC mengatakan proses peninjauannya dilakukan “berdasarkan bukti” dan memastikan “analisis yang ketat dan netral”.
Pada 1 Agustus, IPC telah mengumumkan bencana kelaparan di kamp Zamzam untuk warga yang mengungsi di dekat El-Fasher, sebuah kota di wilayah Darfur barat, Sudan, yang dikepung oleh RSF.
Pada konferensi pers di Kota Port Sudan di Laut Merah, komisaris pemerintah untuk bantuan kemanusiaan, Salwa Adam Benya, mengatakan “rumor tentang bencana kelaparan di Sudan adalah rekayasa belaka,” lapor kantor berita negara Sudan.
Bersama dengan perwakilan dari sektor pertanian, media, dan kementerian luar negeri, dia mengatakan beberapa lembaga bantuan menggunakan “pangan sebagai dalih” untuk mendorong agenda politik.
Pemerintah Sudan, yang setia kepada Kepala Staf Angkatan Darat Abdel Fattah al-Burhan, telah bermarkas di Port Sudan sejak ibu kota Khartoum menjadi zona perang saat pertempuran dimulai pada April 2023.
Pemerintah telah berulang kali dituduh menghalangi upaya internasional untuk menilai situasi keamanan pangan.
Pihak berwenang juga dituduh menciptakan hambatan birokrasi untuk pekerjaan kemanusiaan dan memblokir visa bagi tim asing.
"Hanya gencatan senjata"
Komite Penyelamatan Internasional, sebuah badan amal yang menyebut Sudan sebagai “krisis kemanusiaan terbesar yang pernah tercatat”, mengatakan bahwa angkatan darat “memanfaatkan statusnya sebagai pemerintah yang diakui secara internasional (dan memblokir) PBB dan badan-badan lain untuk mencapai wilayah yang dikuasai RSF”.
Pada Oktober, para ahli yang ditunjuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB menuduh kedua belah pihak menggunakan “taktik kelaparan” dan menuntut agar angkatan darat dan RSF “segera berhenti menghalangi pengiriman bantuan di Sudan.”
Bulan lalu, Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan Sudan berisiko menjadi krisis kelaparan terbesar di dunia dalam sejarah terkini.
Pada saat yang sama, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, yang mengumumkan tambahan dana baru $200 juta untuk krisis kemanusiaan di Sudan, mengatakan bahwa masyarakat di sana terpaksa makan rumput dan kulit kacang untuk bertahan hidup di beberapa bagian negara tersebut.
Perang di Sudan telah menewaskan puluhan ribu orang dan mengusir lebih dari 12 juta orang, termasuk jutaan orang yang menghadapi krisis kelaparan yang semakin parah.
Di seluruh wilayah negera itu, lebih dari 24,6 juta orang - sekitar setengah dari populasi - menghadapi “tingkat kerawanan pangan akut yang tinggi”, menurut IPC.
IPC juga mengatakan “Hanya gencatan senjata yang dapat mengurangi risiko kelaparan menyebar lebih jauh.” [ns/ka]
Forum