Banyak pihak meragukan kinerja dan independensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengingat banyaknya kasus yang ditangani seolah menggantung atau lambat diselesaikan. Wakil Ketua KPK Haryono Umar dalam kunjungannya ke Washington DC, mencoba menjawab keraguan itu dalam wawancara dengan Reporter VOA Arif Budiman.
VOA: Belakangan ini banyak pihak meragukan kinerja dan independensi KPK. Amien Rais, contohnya yang menuding Komisi Pemberantasan Korupsi dipenuhi mafia hukum dan makelar kasus. Indikatornya, kinerja KPK saat ini sudah terkesan tebang pilih dalam menangani kasus korupsi.Apa tanggapan Bapak?
Haryono: Mungkin karena mereka melihat dari luar. Mereka tidak mengerti bagaimana pola kerja KPK. Mereka melihatnya seolah demikian karena begitu banyaknya kasus yang ada di Indonesia saat ini. Ada sekitar 50.000 pengaduan yang datang ke KPK dan harus ditangani. Setiap orang yang mengadu ke KPK mengaku dirinya paling penting sedunia. Jadi, kalau hari ini mereka melapor, besok yang mereka laporkan harus ditangkap.
VOA: Jadi, artinya Bapak membantah bahwa KPK bersikap tebang pilih?
Haryono: Bukan hanya membantah, tapi kita memang kerjanya tidak seperti itu. Karena kita ini lembaga penegak hukum, yang kita utamakan adalah bagaimana membangun keadilan. Tentunya dasar utama kita adalah undang-undang dimana untuk mengatakan bahwa seseorang bersalah atau tidak, atau kasus itu bisa terus atau tidak, adalah berdasarkan bukti. Kita tidak bisa berdasarkan asumsi, kita tidak bisa berdasarkan tekanan. Sampai saat sudah lebih dari 300 kasus besar ditangani KPK. Kita menyelidiki orang-orang yang dulunya dianggap untouchable. Ada 42 anggota parlemen yang sudah kita tangani, ada sembilan menteri dan bekas menteri, ada 20 gubernur. Mungkin yang belum itu gubernur Lemhanas.
VOA: Bagaiamana dengan kasus Gayus. Selama diperiksa di KPK, Gayus Tambunan menceritakan cara kerja di Ditjen Pajak. Apa ada kemungkinan, mantan Dirjen Pajak, M Tjiptarjo juga akan dipanggil KPK?
Haryono: KPK itu bekerja mengikuti tahapan pekerjaan. Awalnya ada pengaduan masyarakat, kemudian kita bangun kasus dengan mengumpulkan keterangan sebanyak-banyaknya. Setelah kita yakin bahwa itu proyustisia baru kita naik ke tahap penyelidikan. Dalam tahap penyelidikan ini, tidak ada upaya paksa, tetapi undang-undang mengatakan minimal kita harus menemukan dua bukti untuk naik ke tahap penyidikan. Pada waktu penyidikan, kita sudah menetapkan adanya tersangka. Awal-awal sekarang ini masih pra-penyelidikan. Jadi, kasusnya dulu yang harus dipetakan, yang harus kita lihat secara menyeluruh. Jadi so far, artinya dalam kasus Gayus, baru Gayus yang kita periksa. Ada kemungkinan 149 lainya yang nanti akan diperiksa.
VOA: Jadi, KPK sebetulnya tidak menemui hambatan dalam kasus Gayus. Ada banyak suara terdengar yang mengatakan bahwa KPK sepertinya mendapat tekanan dari pihak-pihak tertentu.
Haryono: Kalau yang namanya tekanan itu pasti ada dari mana-mana. Tapi, kita tidak pedulikan. Yang penting kita jalan terus. Makanya kita berupaya untuk mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, memeriksa orang sebanyak-banyaknya.
VOA: Jadi dalam kasus Gayus ini, apa memang belum ada bukti yang begitu kuat untuk menuntaskan kasus?
Haryono: Tuntas itu dalam artian kasus sudah selesai di Mahkamah Agung. Itu prosesnya panjang. Yang selesai di KPK adalah kalau kita sudah bawa Gayus ke pengadilan. Sebelum penuntutan harus ada penyidikan, sebelum penyidikan harus ada penyelidikan. Proses penyelidikan itu untuk menemukan minimal dua bukti, baik keterangan saksi, dokumen dan segala macam. Itu prosesnya cukup panjang karena KPK harus betul-betul berhati-hati, karena setiap sudah menetapkan seseorang sebagai tersangka, biasanya tidak ada yang lolos dari jerat hukum.
Untuk wawancara selengkapnya dengan Wakil Ketua KPK Haryono Umar, silahkan klik tautan audio di sebelah kanan atas halaman ini.