Human Rights Working Group (HRWG) mencatat, moratorium (penghentian sementara) pengiriman TKI dua tahun lalu gagal akibat tidak ada pemantauan dan evaluasi dari pemerintah sendiri. Tanpa dua hal tersebut, moratorium dan bahkan pembentukan tim teknis oleh Presiden akan sia-sia. Alasannya, banyak buruh migran selama ini berangkat melalui jalur-jalur tidak resmi, yang luput dari pengawasan pemerintah.
Demikian menurut Manajer Program untuk Kasus Buruh Migran di ASEAN, dari Human Rights Working Group (HRWG), Ali Akbar Tanjung, kepada VOA, Rabu malam. “Moratorium itu tidak bisa menghentikan proses migrasi karena kita tahu berapa banyak jumlah buruh migran Indonesia yang masuk ke wilayah-wilayah Malaysia, misalnya, melalui jalur-jalur yang tidak bisa dihentikan oleh pemerintah karena (mereka) masuk melalui jalur-jalur tikus lewat Sabah dan Sarawak Jadi, moratorium bisa efektif jika memang pemerintah mau memantau pelaksanaan dari moratorium itu sendiri,” ujarnya.
Dari data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2010, tiga negara tujuan terbesar para TKI di ASEAN adalah Malaysia (1.200.000 orang), Singapura (80.150 orang), Brunei Darussalam (40.450 orang). HRWG mencatat, Malaysia dan Singapura tidak memiliki peraturan hukum yang melindungi buruh migran.
Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak kasus kekerasan yang menimpa para TKI: antara lain kasus penyiksaan TKW asal Nusa Tenggara Timur, Nirmala Bonat, Siti Hajar, penembakan tiga TKI asal Sampang Madura dan beberapa kasus lainnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Senin lalu menyampaikan akan membentuk tim terpadu untuk melaksanakan penyelidikan terhadap tindakan agen-agen tenaga kerja di dalam negeri, dan apa yang dilakukan para agen dan pemerintah setempat terhadap para TKI. Hal ini berlaku untuk seluruh negara tujuan para TKI, termasuk Arab Saudi. Presiden Yudhoyono mengatakan, "Kalau memang di negara tertentu, baik lembaga penerima tenaga kerja maupun pemerintahnya nyata-nyata menurut pendapat kita tidak layak, tidak memenuhi syarat dan tidak peduli terhadap perlindungan pemberian hak dan sisi-sisi lain dari TKI kita, pemerintah bisa melakukan semacam moratorium sampai seluruh TKI kita bisa bekerja dengan baik.”
Presiden menambahkan pula, jika perekonomian Indonesia ke depan berjalan sesuai masterplan yang telah ditetapkan, maka akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada pengiriman buruh migran di sektor informal dari Indonesia ke luar negeri.
Tapi, kendala yang dihadapi memang bukan semata-mata persoalan ekonomi. Ali Akbar Tanjung mengungkapkan negara tidak berhak melarang warganya bermigrasi, demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Sebagai Ketua ASEAN tahun ini, Indonesia juga harus dapat meyakinkan anggota ASEAN lainnya: terutama Malaysia dan Singapura, untuk merumuskan aturan hukum yang adil dan berimbang bagi buruh migran Indonesia, kata Ali Akbar Tanjung.
Satu-satunya negara di ASEAN yang telah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya hanyalah Filipina. HRWG mendesak agar Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga segera meratifikasi konvensi tersebut.