Sejumlah orang duduk di kursi plastik warna hijau, di depan rumah kecil yang terletak di dalam sebuah gang dengan lebar sekitar satu meter. Beberapa orang juga terlihat di ruang tamu yang sangat sederhana, menemani dan menghibur seorang perempuan berhijab usia 40-an tahun. Ia adalah Sariati, istri Giri Catur Sungkowo, salah seorang korban meninggal dunia akibat ledakan bom bunuh diri di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), di Jalan Arjuno, Surabaya, Minggu 13 Mei 2018. Giri Catur adalah satpam gereja yang telah 20 tahun lebih bekerja sebagai tenaga keamanan.
Eko Raharjo, kakak kandung Giri Catur menuturkan keseharian adiknya yang tidak terlalu banyak bicara. Giri merupakan laki-laki yang bertanggung jawab terhadap keluarga dan pekerjaannya. Sebagai seorang satpam geraja, sudah menjadi kebiasaannya mengamankan dan menjaga lingkungan gereja selama ibadat maupun ketika tidak ada aktivitas. Giri menjadi korban ledakan bom mobil yang dikendarai terduga teroris Dita Oeprianto, ketika berupaya menghadang laju mobil yang hendak masuk ke halaman gereja.
Your browser doesn’t support HTML5
“Memang melaksanakan tugas kerja, sehari-harinya kerja jadi satpam di situ. Adik saya itu pas jaga di depan, curiga kok ada mobil dimasukkan, kalau memang mau sembahyangan biasanya diparkirkan di jalan, sama adik saya dihadang, tetap nekat, adik saya ditubruk, jatuh, meledak. Tapi adik saya sempat teriak kesakitan habis itu ya sudah sampai ajalnya. Kalau melihat kondisi adik saya itu paling parah, terbakar semua seluruh tubuh,” ujar Eko Raharjo, kakak kandung mendiang Giri Catur Sungkowo.
Giri Catur sempat dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara, dan kemudian dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo untuk menjalani perawatan, akibat luka bakar serius hingga 78 persen dan trauma inhalasi karena menghirup asap yang menyebabkan sesak nafas. Jumat (18/5/2018) malam menjadi akhir perjuangan Giri Catur ketika ia menghembuskan nafas terakhir.
Eko Raharjo menganggap adiknya adalah seorang pahlawan kemanusiaan, yang layak mendapatkan penghargaan karena tindakannya mencegah mobil pembawa bom masuk ke halaman gereja. Meski seorang Muslim, Giri Catur adalah seorang nasionalis yang menghargai perbedaan, dan bertanggung jawab dalam pekerjaan yang dipercayakan kepadanya.
“Adik saya itu betul-betul, dianggaplah pejuang, pahlawan ini, karena dia melindungi sekian banyak jamaah. Seandainya adik saya tidak ada di situ, berapa manusia menjadi korban, orang yang tidak bersalah, kan tujuannya dia juga kesana, walau pun adik saya orang Muslim. Adik saya itu orangnya nasionalis tidak membedakan, karena dia sebagai security tanggung jawab, tanggung jawab seorang (petugas) keamanan,” jelas Eko Raharjo.
Meninggalnya Giri Catur saat menjalankan tugas meninggalkan kesedihan dan rasa kehilangan pada Milton, sahabat sekaligus rekan sesama petugas keamanan gereja. Bagi Milton yang seorang Kristen, Giri bukan sekedar sahabat, melainkan sudah seperti saudara.
“Saya menganggap dia itu sudah seperti bukan teman lagi, sudah seperti saudara. Karena itu tadi, sifatnya yang tidak pernah membedakan, sama teman itu selalu merangkul. Memang orangnya keras, disiplin, tapi dia itu selalu menghargai, itu yang saya angkat topi buat dia, tidak pernah dia rasanya membedakan ini atau ini, tidak. Tetap prinsip dia agamamu agamamu, agamaku agamaku, lakukan yang terbaik buat masing-masing. Itu yang bikin saya bangga sama dia,” ujar Milton, Satpam GPPS Jalan Arjuno, rekan kerja dari Giri Catur Sungkowo.
Tak jauh beda dengan Giri Catur, Aloysius Bayu Rendra Wardhana juga telah menjadi seorang pahlawan bagi umat Katolik Paroki Santa Maria Tak Bercela, Ngagel, Surabaya. Sebagai tenaga relawan keamanan dan parkir, Bayu Rendra adalah pribadi yang ringan tangan dan seorang pelayan gereja yang rajin. Sejak remaja, Bayu sudah aktif dalam berbagai pelayanan di Gereja. Tugas menjaga keamanan gereja setiap Minggu, dianggapnya sebagai tugas negara, seperti yang tertulis pada status media sosialnya pada pagi sebelum ia berangkat bertugas.
Galih yang merupakan adik kandung Bayu, menyebut Bayu kakaknya itu tidak hanya sebagai pribadi yang cinta pada keluarga dan bertanggung jawab pada tugasnya, melainkan menjadikan tugas yang diembannya sebagai panggilan hati.
“Biasanya kak Bayu kalau seumpamanya, di tiap hari dia waktu tugas bisa di pos yang itu, atau bisa di parkiran motor, seringnya gitu sih. Kak Bayu di gereja itu, beliau mengajukan diri sebagai relawan tenaga bantu untuk membantu mengamankan gereja. Saya bilang itu bukan cuma tanggung jawab, bukan cuma kewajiban, tapi buat dia itu panggilan hati. Kak Bayu seringkali mau berjaga ya, tiap kali dia mau berangkat Misa gitu, dia sering bikin status seperti itu sih, karena dia menganggapnya itu memang tugasnya dia, itu istilah aja tugas negara,” ujar Galih, adik Bayu, korban tewas di Gereja Katolik SMTB.
Mewakili keluarga dan suara Bayu, Galih berharap masyarakat semakin lebih peduli dan mengenal lingkungan tempat tinggalnya, untuk mencegah dan mengantisipasi aksi teror terjadi kembali.
“Harapan dari kami keluarga, terutama untuk pesan yang pasti ingin disampaikan juga oleh kak Bayu adalah, melalui kejadian ini kami ingin masyarakat lebih mengenal sekitarnya, mengenal sekitarnya itu dalam artian paling tidak kenali tetanggamu. Jadi saatnya ini kita tidak boleh cuek dengan sekitar kita, karena di lingkungan yang terkecil seperti tetangga itu yang malah bisa jadi cikal bakal terorisme, mereka ada di antara kita, kita harus lebih waspada,” jelas Galih.
Sabtu, 19 Mei 2018, adalah tujuh hari meninggalnya enam orang umat Paroki Santa Maria Tak Bercela, akibat serangan bom bunuh diri dua anak laki-laki terduga teroris Dita Oeprianto. Enam orang yang meninggal di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela adalah Ciska Eddy Handoko, Liem Gwat Nie, Mayawati, Aloysius Bayu Rendra Wardhana, serta kakak beradik Vincentius Evan Hudoyo dan Nathanael Ethan Hudoyo.
Pastor Kepala Paroki Santa Maria Tak Bercela, Romo Alexius Kurdo Irianto dalam kotbahnya menyebut peristiwa ini sebagai pembaruan iman Gereja. Kurdo mengajak seluruh umat Katolik dan masyarakat umum untuk mengampuni dan memaafkan pelaku peledakan bom, agar luka dan kesedihan yang dialami korban beserta keluarga yang ditinggalkan dapat disembuhkan.
“Bersama para korban, saya mengajak seluruh umat Katolik Paroki Ngagel, seluruh umat Katolik dimanapun berada, dan seluruh masyarakat semua, kita memberi, kita memberi pengampunan bagi para pelaku. Saya teringat kata-kata Paus Fransiskus, pengampunan adalah masa depan, dan mengampuni membawa penyembuhan,” pungkas Romo Alexius Kurdo Irianto, Pastor Kepala Paroki Santa Maria Tak Bercela. [pr/em]