Pihak Militer Turki hari Selasa (6/2) mengakui seorang tentaranya tewas dalam sebuah serangan militan ketika mendirikan pos militer di provinsi Idlib yang dikuasai pemberontak Suriah. Pos terdepan itu terletak di barat daya Aleppo sehingga mengakibatkan tentara Turki yang bulan lalu melakukan intervensi dan sekutu pemberontaknya dekat dengan pasukan sekutu pimpinan koalisi Amerika di Suriah.
Idlib terus menjadi sasaran serangan udara Suriah dan Rusia sementara Suriah terus menyerang daerah terpisah di Ghouta Timur, di luar Damaskus yang dikuasai pemberontak. Operasi itu terjadi sementara Amerika menuduh Suriah menggunakan senjata kimia di Idlib, kali ini gas klorin.
Nikki Haley, Duta Besar Amerika di PBB menuduh Rusia melindungi penggunaan senjata kimia oleh Presiden Bashar al-Assad meski Suriah menyangkal.
Rusia mengecam balik dengan berkeras bahwa tidak ada bukti yang mengaitkan Suriah dengan serangan semacam itu dan persediaan senjata kimia Suriah telah dihancurkan di bawah pengawasan internasional.
Sebuah penyelidikan internasional menyimpulkan Suriah menggunakan gas klorin setidaknya dua kali, pada tahun 2014 dan 2015 dan agen saraf sarin pada tahun 2016. Penyelidikan itu juga menuduh ISIS menggunakan senjata semacam itu.
Pakar Timur Tengah, Anthony Billingsley dari Universitas New South Wales kepada VOA mengatakan, karena didukung Rusia dan sukses di medan perang baru-baru ini, Suriah merasa akan mampu menyingkirkan pihak oposisi di negara itu.
Meskipun mendapat kecaman internasional karena mendukung rezim Assad, Anthony Billingsley mengatakan, Rusia muncul sebagai kekuatan militer dan politik penting di Timur Tengah. Dan tampaknya sebuah proses perdamaian pada akhirnya akan didominir oleh Rusia dan Suriah, bukan PBB. [my/jm]